Kamis, 22 Maret 2012

MENYIKAPI ANAK YANG PENENTANG




MENYIKAPI ANAK YANG PENENTANG
Oleh Hanifah Az Zahra

Setiap orang tua tentu mengharapkan anak nya selalu patuh dan nurut setiap kali diperintah. Namun kenyata’an nya kita dapati anak kita terkadang suka menentang terhadap perintah kita. Hal ini tentu menjengkelkan. Kalau itu terjadi sekali-dua kali tidak mengapa, namun bila sering terjadi, bahkan setiap hari dan sampai berketerusan. Maka inilah yang harus di cari penyebab serta bagaimana pemecahan masalah nya.
Sikap penentang ini mempunyai beberapa sebab, diantaranya:
1.     Perintah orang tua/pengajar yang sulit dan berlebihan.
Jika hal ini terjadi, anak cenderung menolak dan tidak mau menjalankan perintah tersebut, bahkan sang anak akan berontak terhadapnya.
Contoh: Anak disuruh belajar terus-menerus. Mungkin karena jenuh atau merasa berat, anak itu tidak mau mrngerjakannya. Kita sebagai orang tua Insya Allah bisa mencari celah agar anak mau melaksanakannya. “Ya sudah…adek belajar sedikit demi sedikit, kalu capek, adek istirahat dulu.” Begitu salah satu contoh untuk meringankan beban buah hati.
2.    Suasana yang tidak mendukung
Contoh: Si Kakak disuruh mengerjakan PR, sedangkan adiknya enak bermain-main. Maka, Si Kakak pun iri dengan adiknya. Dan itupun dijadikan Si Kakak menjadi alasan untuk menolak perintah kita. “Adik aja main...masak aku disuruh belajar…aku juga mau main…” dst. Sebisa mungkin kita bisa mengkondisikan kegiatan anak itu seragam. Misal kakaknya disuruh belajar, adiknya dipegangin pensil (walaupun belum bisa) agar kakak nya terdorong dan bersemangat. “Tuh adik yang masih kecil aja juga belajar, dsb.
3.    Perbedaan perintah dari kedua orang tua
Terkadang seorang ayah dan ibu berbeda perintah. Contoh: Ibu melarang anak main hujan-hujanan diluar. Sedangkan ayah membiarkannya. Hal ini sering terjadi. Untuk masalah ini kita sebagai orang tua harus punya komitmen. Jika ibu punya perintah, ayah juga harus mengimbanginya.
4.    Melarang anak suatu pekerjaan yang dianggapnya mampu membuatnya memberontak.
Biarkan ia mengerjakan semampunya. Kalaupun hasilnya tidak memuaskan dan kita tidak ingin dia melakukannya lagi, kita berilah pengertian dengan baik dan lembut. “Besok aja ya kalau adik sudah bisa mengerjakan seperti Ibu.” Demikian pula jika kita tidak menghargai hasil pekerjaannya dan menjelek-jelekannya. Ketika pada waktu yang lain ia disuruh mengerjakan yang sama, ia akan enggan karena telah jatuh mental nya.
Sumber: Naqoishul Athfal wa Thoriqotu Islahiha, dengan berbagai tambahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar